KPMDB punya banyak tokoh sentral di wilayah manapun. Nah Artikel kali ini mengangkat seorang kader militan asal losari Brebes. Beliau sala satu pelopor sekaligus penggerak KPMDB Yogyakarta. Dialah Risyanto.
Yupz, memang ini postingan lama dari suatu web, namun perlu kawan-kawan ketahui. Monggo... ;)
Yupz, memang ini postingan lama dari suatu web, namun perlu kawan-kawan ketahui. Monggo... ;)
(gambar)
Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang sangat
penting, karena pendidikan tersebut jika dilihat secara lebih detail
tidak hanya membina aspek kognitifnya saja, akan tetapi juga membina
aspek afektif seseorang. Maka dari itu
pendidikan harus diselenggarakan secara sistematis agar pendidikan tersebut dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan.
pendidikan harus diselenggarakan secara sistematis agar pendidikan tersebut dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Terlebih lagi pendidikan Islam, pendidikan Islam membina anak didik
tidak hanya segi jasmaniahnya saja akan tetapi juga membina segi
rohaniah. Pendidikan Islamiah memberikan penekanan yang lebih kepada
keimanan, kerohanian dan akhlak. Namun begitu, dalam masa yang sama
aspek-aspek kehidupan manusia dan lain-lain seperti pendidikan jasmani,
akal dan kemahiran tidak diabaikan.
Pendidikan dari segi individu
ialah pengembangan potensi-potensi pendidikan diri manusia yang
terpendam dan tersembunyi. Ini karena manusia mempunyai berbagai bakat
dan kemampuan yang mana jika kita bijak menggunakannya, maka hal itu
akan memberi peluang yang menguntungkan. Namun begitu, pendidikan dari
kaca mata Islam, tujuan pendidkan dalam Islam sebagaimana jelas dalam
al-Quran dan Sunnah, ialah untuk membawa seseorang Muslim atau
masyarakat Islam agar mampu merealisasikan akidah, ibadah dan sistem
akhlak untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Untuk mencapai
tujuan tersebut dibutuhkan berbagai elemen yang harus koheren dan
profesional, terutama pendidik. Keprofesionalisasian merupakan hal yang
mendasar yang harus ada dalam diri seseorang yang menjalankan suatu
kegiatan agar kegiatan tersebut dapat berhasil dengan baik. Demikian
juga mengenai pendidikan Islam, agar tujuan pendidikan Islam dapat
dicapai dan juga kegiatan pendidikan dapat berjalan dengan baik, maka
pendidik dalam pendidikan Islam haruslah profesional. Tanpa adanya
pendidik yang profesional, maka pendidikan Islam tidak akan dapat
berjalan dengan baik.
Di samping itu, untuk menjadi pendidik yang
ideal dan berkualitas, maka seorang pendidik harus memperhatikan
kinerjanya dan selalu meningkatkan kinerjanya. Biasanya bagi pendidik
atau guru baru, mereka tidak mengetahui kinerja dan kewajibannya.
Apabila seorang pendidik tidak mengetahui kinerjanya, maka yang terjadi
adalah tidak adanya peningkatan kinerja atau bahkan kemerosotan kinerja.
Tanpa peningkatan kinerja, maka pendidik akan mengalami stagnasi dan
kurang profesional. Terlebih dalam era modern sekarang ini, pendidik
harus mempunyai kompetensi tertentu untuk melaksanakan tugasnya.
Pendidik
harus mampu bekerja seprofesional mungkin agar pendidik memperoleh
tunjangan yang berupa tunjangan keprofesioanlisasian. Apabila pendidik
tidak mampu meningkatkan kinerjanya, maka yang terjadi adalah pendidik
tersebut akan sulit untuk menaikkan pangkatnya, terlebih lagi menuju
sertifikasi dan kualifikasi pendidik. Akan tetapi kenyataan yang terjadi
adalah pendidik, baik itu guru maupun dosen jauh dari hal tersebut.
Sebenarnya,
harapan akan adanya pencerahan dan ‘perubahan nasib’ bagi guru dan
dosen telah lama disuarakan sejak masa Orde Baru. Tetapi akibat tekanan
politik pada masa Orde Baru begitu kuat mencengkram para pegawai negeri,
lebih-lebih para guru dan dosen, akhimya yang terjadi hanyalah “trauma
politis”yang secara evolutif sangat mempengaruhi pola pikir dan sikap
guru dan dosen yang cenderung menurut, nrima apa adanya meskipun digaji
sedikit, tidak kritis (karena takut dimotasi dan dipecat) dan bahkan
kehilangan independensi dan profesionalisme-nya. Sebagai konsekuensinya,
pendidikan kita saat ini dirundung banyak masalah. Tidak bermutu atau
kualitas rendah, disparitas tinggi dan banyak sekolah yang belum
memenuhi standar yang layak.
Situasi di atas, mirip sekali dengan
sebuah puisi menarik yang berjudul “Nasibmu Pegawai Negeri (Guru)”, yang
isinya sebagai berikut: nasibmu wahai pegawai negeri (guru) / berhasil
dalam tugas sudah tradisi/ kerja berat sudah pasti / loyalitas
terhadappimpinan harga mati/ komitmen tidak bisa ditawar lagi / gagal
dalam tugas dimutasi/ salah sedikit dicaci maki / pulang terlambat
dimarahi istri / hidup kaya dicurigai/ kalau miskin salah sendiri/ mau
beli beras harus hutang sana-sini / mau mendapat jabatan tinggi harus
pandai melakukan loby/ kenaikan pangkat belum pasti / kalau idealis
cepat diganti/ kalau kritis dimusuhi / banyak bicara menjadi dibenci/
banyak menentang pasti dibui/ potongan bank dan koperasi tiap bulan
menanti/ kenaikan gaji tidak memadai / pasti tidak mampu untuk naik haji
/ sementara, masuk surga belum pasti/ nasibmu …. wahai pegawai negeri.
Puisi
di atas nampaknya menggambarkan kondisi guru pada masa orde baru dan
awal-awal orde reformasi. Pada masa itu, memang seorang guru bukan
merupakan jabatan yang diidam-idamkan, karena kondisi kehidupan, yang
sangat tidak mapan. Bahkan banyak mahasiswa yang meletakkan guru sebagai
alternative terakhir, sehingga jabatan guru menjadi jabatan yang
terdiskriminasikan.
Untuk itu, sejak orde reformasi, Pemerintah
Republik Indonesia di era Megawati Soekarnoputri, melalui Depdiknas
(kini Kemendikbud) berupaya membongkar trauma politis tersebut dengan
berusaha memperbaiki sistem, pendidikan nasinonal kita, dengan
melahirkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS) untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional, yang kemudian
dilanjutkan oleh era pemerintahan SBY-Kalla (2004-2009) dengan
melahirkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
(UUGD) untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru. Dikatakan
melanjutkan, karena dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab XI pasal 40
ayat 1 dan 2 cukup rinci menjelaskan hak dan kewajiban pendidik dan
tenaga kependidikan.
Lahirnya kedua Undang-Undang di atas, tentu saja
merupakan sebuah bentuk kebijakan pemerintah untuk membangkitkan
kembali dunia Pendidikan Indonesia dan mengembalikan eksistensi guru
agar lebih professional dan lebih sejahtara. Dengan ditetapkannya UUGD
pada tanggal 6 Desember 2005 (diundangkan pada tanggal 30 Desember
2005), telah menjadi momentum untuk memberikan “titik terang” agar
profesi guru dan dosen tidak lagi dipandang sebelah mata dan
terpinggirkan. Undang-undang inilah yang menjadi babak baru perkembangan
dinamika keguruan di Republik Indonesia.
Sebab, setelah muncul
kebijakan tentang UUGD di atas, pemerintah kemudian melahirkan banyak
sekali peraturan perundang-undangan yang khusus tentang guru, mulai dari
Permendiknas No. 16 Tahun 2005 tentang Standar Kualifikasi dan
Kompetensi Pendidik, Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi
Guru dalam Jabatan (diperbarui dengan Permendiknas No. 10 tahun 2009)
hingga Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, yang
semuanya telah mengatur segala hal tentang masa depan guru yang cukup
menjanjikan.
Persoalannya sekarang, jika pemerintah sudah punya
“sekian senjata” untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan
guru. Akankah peningkatan mutu pendidikan kita bisa terselesaikan?
Mungkinkah kinerja guru dan dosen bisa lebih baik dan profesional? Masih
perlu cukup bukti untuk mengatakan “ya”. Sebab, pengalaman terhadap
kebijakan menaikkan gaji guru dan tunjangan fungsional guru pernah
terjadi pula pada pemerintahan sebelumnya, yaitu di masa pemerintahan
Presiden B.J. Habibie yang telah melahirkan kebijakan memberikan uang
penyesuaian sebanyak Rp 150.000 per bulan untuk semua guru. Dilanjutkan
oleh Presiden Abdurrahman Wahid (alm.), yang menaikkan tunjangan
fungsional guru hingga rata-rata di atas Rp 200.000, dan tunjangan
kepada guru swasta sebesar Rp 75.000 untuk tingkat SD-SMA dan Rp 50.000,
untuk guru TK.
Tetapi apa yang terjadi? Kebijakan-kebijakan tersebut
tetap saja tidak meningkatkan etos kerja dan profesionaIisme guru.
Kinerja mereka tetap seperti sebelumnya, malasmalasan, low
curiosity,minimalis, mental belajar yang lemah, kreativitas rendah dan
tidak produktif. Akankah UU Guru dan Dosen ini akan mengalami nasib yang
sama?
Oleh :
Risyanto
Prapag Lor, Losari Brebes
Sumber:http://mitrakamtibmas.com